Senin, 22 Juni 2009

REFORMASI BIROKRASI INDONESIA

REFORMASI BIROKRASI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang • Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem yang dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan yang berarti dibandingkan dengan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India. • Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor tahun 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat. • Para eksekutif bisnis juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekankan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi. • Reformasi terjadi di beberapa Negara Asia seperti di Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7. tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9, 09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. • Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia sebagai Negara yang daya saingnya paling rendah di Asia. Alasannya : Pelayanan Publik (birokrasinya) paling buruk dan korup. • Posisi Indonesia - Tahun 2001 peringkat 64 dari 75 negara yang disurvey - Tahun 2002 peringkat 67 dari 80 negara yang disurvey - Tahun 2003 peringkat 72 dari 102 negara yang disurvey - Tahun 2004 peringkat 69 dari 104 negara yang disurvey - Tahun 2005 peringkat 74 dari 117 negara yang disurvey • Hasil Survey Lembaga lain tahun 2005, The Political and Economic Risk Consultancy, Ltd (PERC), birokrasi di Indonesia memperoleh poin 8,2 jauh lebih buruk dari Vietnam dengan poin 7,63. • Hasil survey yang dilakukan Transparancy International (TI) th. 2005, Indonesia berada pada peringkat 140 dari 159 negara yang menjadi objek riset (Coruption Perseption Index). Indonesia hanya sejajar dengan Negara miskin dan terbelakang seperti Azerbaijan, Kamerun, Ethiopia. Indonesia kalah dengan Kamboja, Papua New Guenea atau Kongo dengan skor 2,3. 2. Keadaan Birokrasi Indonesia • Pegawai/Aparatur - Korup - Santai - Tidak Inisiatif - Kurang disiplin - Kurang profesional • Manajemen Pelayanan - Banyak duplikasi - Diskriminatif - Tak independent - Struktur terlalu panjang - Jabatan fungsional tidak laku - Banyak lembaga ekstra • Manajemen Kepegawaian - Perencanaan lemah - Rekruitmen lemah - Jabatan non kompetensi - Disalokasi pegawai - Diklat hanya formalitas - System gaji salah - Tak ada reward and punishment - Bank data lemah • Sistem Tata Kelola - Prosedur berbelit-belit - System manual - Banyak peraturan usang - Banyak peraturan tumpang tindih - System peradilan buruk • Sistem Kelola Aset - Tidak transparan (markup) - Tak ada standar baku - Sarana/prasarana tak memadai - Inventarisasi/Administrasi buruk - Pemanfaatan sarana tak optimal - Sarana/prasarana tak terpelihara - Ruislag tak transparan BAB II PEMBAHASAN 1. Reformasi Birokrasi Indonesia • Kabinet Indonesia bersatu merupakan hasil kompromi politik antara presiden dan wapres terpilih dengan parpol pendukung presiden dan wapres. Beberapa anggota kabinet merupakan anggota atau bahkan pengurus parpol tertentu, sehingga dirasakan masih terjadi konflik kepentingan antara kepentingan negara dengan kepentingan kelompok (Parpol) dalam kenyataannya ada juga yang mengangkat/menempatkan pejabat baru non struktural (staf khusus) yang berasal dari kelompoknya dan bekerja melampaui batas kewenangannya, sehingga dapat mengganggu/menurunkan kinerja pejabat struktural yang ada. • Koordinasi merupakan salah satu prasyarat keberhasilan suatu institusi untuk melaksanakan tugas pokoknya, mulai dari tahap perencanaan tugas pokoknya, mulai tahap perencanaan sampai dengan evaluasi. Koordinasi sangat mudah diucapkan, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Menurunnya koordinasi intern Dep./LPND dan antar Dep./LPND merupakan kondisi yang terjadi saat ini, sehingga kebijakan publik yang dikeluarkan sering mendapat penolakan dari masyarakat. Demikian juga pelayanan umum menjadi semakin menurun. • Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) nampaknya akan sulit diberantas, selama gaji SDM Aparatur (terutama pada golongan I dan II) belum dapat mencukupi kebutuhan hidup. Di sisi lain, kenaikan gaji juga belum menjamin akan berhentinya KKN. Upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini untuk sementara nampaknya cukup efektif, namun di lain pihak ternyata menghambat daya serap penggunaan anggaran yang telah ditetapkan. Walaupun antar keduanya tidak ada kaitan langsung, kenyataan menunjukan bahwa hampir setiap unit organisasi kesulitan mencari aparatur pemerintah yang secara sukarela mau menjadi pimpinan proyek (pejabat pembuat komitmen). Kondisi ini merupakan indikator masih kuatnya KKN di lingkungan birokrasi. • Keberhasilan perwakilan tugas pelayanan public oleh Masing-Masing unit organisasi pemerintah, dapat diukur dari tingkat kepuasan publik yang menerima pelayanan dari birokrasi. Kenyataan menunjukan bahwa birokrat masih bersifat sebagai “pangreh praja” sehingga tingkat kepuasan publik masih relatif rendah. • Keterbukaan adalah merupakan tuntutan dalam pelayanan publik, sehingga dapat memudahkan pengawasan. Walaupun selama ini telah dilaksanakan pengawasan melekat dan pengawasan fungsional (intern dan ekstern), kenyataannya sangat jarang ditemukan adanya kasus/penyimpangan yang secara keseluruhan ditindaklanjuti dengan proses hukum (diskriminasi). Biasanya temuan terhadap adanya penyimpangan sering digunakan ialah yang sulit untuk dikenakan tuntutan hukum formal, dengan alasan kesalahan prosedur dan kesalahan administrasi, sehingga pelaku hanya dikenai tindakan intern organisasi yang bersangkutan (pelanggaran kode etik kehormatan). Kondisi ini dapat terjadi karena adanya krisis keteladanan (sulit mendapatkan seseorang yang patut diteladani). • Tradisi dan jiwa korsa dapat membangun organisasi menjadi cukup kuat, namun apabila disalahgunakan (tradisi dan jiwa korsa dalam pengertian sempit) dapat merugikan organisasi yang bersangkutan. Misalnya melindungi dan atau membela anggotanya yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum. • Konsep otonomi daerah bila dilaksanakan secara bear akan meningkatkan pelayanan publik, karena daerah otonomi dapat leluasa mengatur tata cara pelayanan disesuaikan dengan budaya setempat, tanpa menghilangkan standar pelayanan nasional. Beberapa daerah justru telah terjadi sebaliknya, dan timbul ego kedaerahan yang menjadi potensi konflik. • Dalam rangka menjaga netralitas PNS, telah diterbitkan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepagawaian. Didalamnya antara lain mengatur tentang PNS harus netral dari pengaruh Parpol. Disamping itu, telah pula ditetapkan PP No. 37 tahun 2004 tentang Larangan PNS menjadi anggota dan atau Pengurus Partai Politik. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak mengatur tentang netralitas pejabat Negara (Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota) dalam arti pejabat Negara telah diatur secara tersendiri yang berasal atau dicalonkan oleh partai politik. Kondisi tersebut ternyata telah membawa pengaruh negatif terhadap netralitas birokrasi yang ada. • Dari beberapa pernyatan di atas, mungkin ada hal-hal penting yang berkaitan dengan tema yang dibahas belum cukup tercakup dalam pernyatan, dapat dikemukakan dalam nomor ini. Umpamanya perlu adanya : - Peraturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap legislatif - Sistem penggajian yang adil dan layak (equal pay for equal work) bagi aparatur Negara dan pemerintah, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. - Komitmen pimpinan nasional untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa. - Konsistensi terhadap implementasi peraturan perundang-undangan yang ada. 1. Model Reformasi Birokrasi Indonesia Berikut perbandingan antara birokrasi yang menimbulkan pembusukan politik karena politisasi dan model netralitas politik birokrasi, yang diharapkan sehat untuk Indonesia ke depan. Model I Birokrasi Berpolitik Ciri-ciri - Dibentuknya wadah tunggal organisasi yaitu KORPI - Bureaucratic Polity/Korporatisme Negara - Monoloyalitas Birokrasi/PNS Saat Pemilu Terhadap Partai Politik Pemerintah - Masyarakat termobilisasi dan terkooptasi, demokrasi sakit Model II Netralitas Politik Birokrasi Ciri-ciri - KORPI dinyatakan independent dari partai politik - Birokrasi tidak berafiliasi politik; berjarak dengan partai politik - Peran LSM Non Diksriminatif terhadap WN& partai politik - Peran LSM dan Kelompok lebih leluasa - Masyarakat berpartisipasi secara otonom membangun civil society (ada demokrasi, HAM dan keadilan social) Jalur pengaruh kekuasaan kooptasi politik Jalur persuasi dan koordinasi social. • Apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus orde baru, pada praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. • Kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendikiawan pun ada yang berbeda pandangan, ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran pegawai pemerintah dalam kehidupan politik. • Mereka yang setuju birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi dasar bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan dipilih, tidak rasional membatasi peran politik birokrasi. Pembatasan hak merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya soal hak-hak rakyat. • Mereka yang kontra berpendapat gejala tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflik of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. • Praktik birokrasi dinegara-negara berkembang menunjukan, pemihakan birokrasi pada suatu partai politik memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dari kalangan birokrasi itu sendiri Ada kecenderungan beberapa aspek negatif yang bisa dikemukakan, untuk dikaji ulang, sebagai dampak dari keberpihakan birokrasi dalam politik Indonesia. Pertama, terjadi keterapungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain golkar. Saat itu, jika ada pegawai birokrasi yang memilih atau menjadi pengurus partai politik non-Golkar, harus keluar dari jajaran birokrasi. Kedua, keberpihakan birokrasi pada Golkar telah membawa ketakutan terhadap sebagian anggotanya, khususnya saat kampanye. Pegawai birokrasi tak lagi berani mengenakan seragam KORPRI dan PSH (Pakaian Seragam Harian) saat kampanye berlangsung, karena hanya akan menjadi sasaran ketidakpuasan simpatisan partai non-Golkar atas praktik keberpihakan birokrasi itu. Kenyataan seperti itu hampir terjadi di semua daerah. Ketiga, keberpihakan birokrasi pada Golkar lebih mengakibatkan ancaman-ancaman struktural ketimbang fungsional. Contohnya, seorang pegawai tak akan pernah naik pangkat secara lancar jika disinyalir tidak memilih Golkar. Akibatnya, karier organisatorisnya lebih didasarkan pada kepentingan politik (Golkar) ketimbang profesionalisme kerja. Keempat, kecenderungan pelayanan birokrasi yang diskriminatif, baik dalam aspek administratif maupun pembangunan. Sudah bisa ditebak saat itu, jika suatu daerah tidak bisa memenangkan Golkar, jangan berharap daerah tersebut mampu dan diprioritaskan untuk dibangun sarana dan prasarana fisiknya dengan lancar. Bahkan permohonan fisik seperti pengaspalaman jalan, pembuatan jembatan dan penyediaan fasilitas listrik, tidak akan tercapai jika Golkar kalah di tempat itu. Dalam pengurusan surat-surat administratif, berlaku hal yang sama. Jika mereka memilih Golkar maka akan dengan lancar pengurusannya, tetapi jika bukan, jangan terlalu berharap atau perlu menambahkan “uang pelican”. Kondisi ini nyata dalam pengurusan persoalan perizinan, pembuatan akte dan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Kelima, keberpihakan birokrasi pada salah satu partai politik memperlemah profesionalisme organisasi pemerintah. Charles E. Lindblom mengingatkan, keasyikan birikrasi bermain dalam politik, pada suatu titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral. Pada tahun 1992, ada koreksi terhadap paradigma birokrasi modern Weber yang hirarkis, disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal ini disarankan oleh David Osbome dan Ted Gaebler. Juga disarankan paradigma birokrasi yang baru antara lain : (a) Catalytic government : steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan unuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarkat sendiri. (b) Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah. (c) Competitive Government: injecting competition into service delivery. Pemerintah yang kompetitif adalah pemerintah yang memasukan semangat kompetisi didalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik. Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarkat universal, seperti yang dikemukakan berikut : Gejala Lama Sekarang/Akan Datang Unskilled Work (pekerjaan tanpa keahlian) Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian) Meaningless repetitive task (pekerjaan berulang tak bermakna Innovation and caring (menemukan cara baru dan punya kepedulian) Individual work (pekerjaan perorangan) Team work (pekerjaan kelompok) Functional-based work (pekerjaan berbasis fungsional) Team work (pekerjaan kelompok) Single skilled (satu bidang keahlian) Multiskilled (beragam keahlian) Power of bosses (atasan berkuasa) Power of costumers/public/stakeholder (konsumen/public berkuasa) Coordination from above (koordinasi dari atasan) Coordination among pears (koordinasi antar rekan kerja) Sumber : Gifford and Pinchot, 1993 Berikut ini perbandingan dari system birokrasi dan kemungkinan perubahan menjadi arah reformasi sebagai berikut : Sistem Birokrasi Sistem Pemerintahan Enterpreuner Rowing (mendayung/bekerja sendiri) Steering (menyetir/mengarahkan) Service (melayani) Empowering (memberdayakan) Monopoly (menguasai sendirian) Competition (ada persaingan) Rule-driven (digerakan oleh aturan) Mission driven (digerakan oleh misi) Budgeting inputs (menunggu anggaran) Funding outcomes (menghasilkan dana) Bureaucracy-driven (dikendalikan birokrat) Customer driven (dikendalikan pelanggan/pembayaran pajak Spending (pengeluaran) Earning (penghasilan/tabungan) Curing (penyembuhan) Preventing (pencegahan) Hierarchy (berjenjang) Teamwork/participation (pelibatan/kerja kelompok) Organization (organisasi, lembaga) Market (pasar, keseimbangan orang banyak) • Dalam praktiknya di Negara dunia ketiga yang memiliki sifat patron-client yang kental, ciri hirarkis birokrasi weber, dianggap berdampak telah mematikan inisiatif masyarakat dan kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien. Contoh birokrasi yang terlalu hirarkis, terlihat ketika ada kebiasaan kerja bahwa setiap hal atau pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi menjadi berkurang. Kualitas pelayanan birokrasi dinilai buruk, lama, berbelit-belit. Hal itu berbeda sekali dengan swasta yang memberikan pelayanan interaktif, kompetitif dan cepat. Jika tidak begitu, swasta khawatir akan ditinggalkan oleh pelanggannya. • Dalam model enterpreuner, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan, bukan mengurus semua bidang, melakukan pemberdayaan masyarkat, saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, digerakan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara bukan aturan yang dibuat sendiri, menghasilkan pendanaan bukan menunggu anggaran, dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, memperhitungkan tabungan, mencegah daripada mengobati, melakukan kerja kelompok bukan kerja individu dan memperhatikan kemauan pasar atau publik. • Sebelum adanya kebijakan zero growth, kecenderungan jumlah personilnya dibuat membesar untuk menampung pencari kerja dan para kader politiknya. Keadaan itu menunjukan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding dengan beban kerja birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi ini jika tidak dibatasi peran dan fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi” dan memaksa masuk semua bidang kemasyarakat menjadi urusannya, yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri. • Padahal urusan masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari birokrasi. Berikut ini paradigma baru atau model yang ditawarkan untuk birokrasi Indonesia masa depan. Sasarannya agar Indonesia mampu keluar dari terulangnya gejala pembusukan politik dan melanjutkan penerapan agenda demokratisasi yang sedang dibangun, sebagai berikut : Model Reformasi Birokrasi Untuk Indonesia Model Model lama Birokrasi Model baru Birokrasi Kultur dan structural kerja Irasional-hirarkis Rasional-egaliter Hubungan kerja Komando-intervensionis Partisipan-outonomus Tujuan kerja Penguasaan, pengendalian public Pemberdayaan public, demokratisasi Sikap terhadap public Rent-seeking (ekonomi biaya tinggi) Professional pelayanan public, transparansi biaya (public accountability) Pola rekruitmen, pengawasan & penghargaan Spoil System (nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial-suku, ras, agama) Merit system (pengangkatan karena keahlian, [engawasan kolektif, objektif) Model pelayanan Tidak ada kompetisi dalam pelayanan Kompetitif dalam memberikan pelayanan Keterkaitan dengan politik Birokrasi berpolitik Netralitas politik birokrasi • Perlu dibangun birokrasi kultur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis, caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan menggunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioneer, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusiaan, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya. • Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia kedepan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarkat untuk berkarya hak ekspresi masyarakat. Perlu ditingkatkan cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi. • Birokrasi bertindak professional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarkat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa diminati pertanggungjawabannnya (public accountability) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi. • Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarkat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. • Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merist system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). • Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas Negara untuk kepentingan partai politik tertentu. BAB III Penutup Ada sejumlah gagasan kode etik yang akan menuntun perilaku birokrat untuk menjalankan prinsip politik birokrasi guna menegakan birokrasi. Hal ini akan menciptakan birokrasi yang lebih bersih. Ada beberapa tabu yang harus dihindari oleh setiap pegawai birokrasi, sebagai langkah membangun peradaban politik Indonesia, antar lain : • Birokrasi/PNS “tidak boleh” menggunakan program dan anggaran pembangunan dari APBN/APBD atau sumber milik Negara yang lain untuk kepentingan salah satu partai politik pada saat apapun, apalagi saat kampanye. • Birokrasi/PNS “tidak boleh” menyerahkan penyelenggaraan program pemerintah, pelaksanaan ataupun kepada suatu partai politik atau politisinya. • Birokrasi/PNS “tidak boleh” menggunakan waktu kerja (jam dinas), fasilitator kantor dan anggaran kantor untuk kepentingan suatu parpol. • Birokrasi/PNS “tidak boleh” memasang satu atau lebih atribut parpol pada kantor, gedung dan kendaraan milik Negara. • Birokrasi/PNS “tidak boleh” memberikan pernyataan secara terbuka kepada umum tentang parpol, berupa dukungan atau kritik di luar bidangnya. • Birokrasi/PNS “tidak boleh” memberikan keistimewaan atau melakukan diskriminasi terhadap suatu parpol dalam memberikan izin, pelayanan administratif, pengolahan dan pemberian informasi, memobilisasi atau mengintimidasi seseorang, penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman keamanan dan ketertiban terhadap suatu partai politik tertentu saja. Birokrasi pasca berhentinya Presiden Soeharto ada dalam persimpangan jalan antara adanya upaya pihak yang ingin tetap mempertahankan berlangsungnya politisasi birokrasi (bureaucratic polity), berhadapan dengan pihak yang menginginkan ditegakannya reformasi, ketidakberpihakan politik dan profesionalisme birokrasi. Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountability) secara teratur. DAFTAR PUSTAKA • Abrow, Martin. Birokrasi, terj. M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. • Fredickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1977. • Gifford and Pinchot, Elizabeth, The End of Bureaucracy and The Rise of The Intellegent Organization, San Fransisco: Barret Koehler Publishers, 1993. • Jackson, Karl D. “Bureaucratic Polity: A Theoritical Framework for The Analysys of Power and Communications in Indonesia”, dalam Political Power and Communications in Indonesia, ed. Dan Lucian W. Pye. Berkley: University of California Press, 1978. • Kaisiepo, Manuel. Jurnal Ilmu Politik No. 2, Gramedia-Asosiasi Ilmu Politik Indonesia. • Liddle, William R. Pemilu-Pemilu Orde Baru, terj. Nug Katjasungkana. Jakarta: Grafiti Press, 1992. • Osborne and Gaebler, Reinventing Government, 1992. • Osborne and Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995. • Weber, Max. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press. 1947. • Antlov and Cederroth, dalam Teguh Yuwono, “PNS Berpolitik untuk Kepentingan Golkar” dalam Suara Merdeka. Jum’at, 22 Januari 1999. • Seri Penerbitan Studi Politik, Menghibur Sistem Orde Baru. Lab. Ilmu Politik FISIP UI & Mizan, 1998. • Jurnal Transparansi, Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, edisi 18 Maret 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar